Friday, 26 November 2010

analisa kasus hukum gayus

A. PENGERTIAN UMUM
     Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung

Makna Suap
Secara harafiah, kata suap (bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Perancis), yang artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Namun, perkembangan kemudian, bribe bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup) .

Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi (influencing) agar yang disuap berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

Karena itulah, kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi, termasuk di dalamnya suap-menyuap, mempunyai alasan yang sangat kuat, sebab kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter korupsinya yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan).

Kultur Upeti
Di Indonesia, suap-menyuap merupakan hal yang ada dalam sejarah bangsa. Ong Hok Ham (2004) mengaitkan antara tindakan korupsi, termasuk di dalamnya suap, dengan konsep negara pejabat, yang diistilahkan sebagai negara pejabat. Dalam kosa kata bahasa Indonesia, istilah suap bisa ditarik akar budayanya dalam praktek pemberian upeti.
Istilah upeti berasal dari kata utpatti, yang dalam bahasa Sansekerta kurang lebih berarti bukti kesetiaan. Upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk.

Ada dua hal pokok yang membuat budaya upeti lestari di Indonesia. Pertama, sistem administrasi yang memungkinkan pertukaran antara jabatan resmi atau keuntungan yang didapat dari kewenangan atau jabatan dengan imbalan material. Kedua, kekeliruan persepsi masyarakat tentang makna upeti dan gratifikasi.

B. pemetaan dan analisa kasus.
Polisi menjerat Gayus dengan 3 pasal yaitu penggelapan, pencucian uang dan korupsi. Namun jaksa menilai hanya satu pasal yang bisa dibuktikan yaitu penggelapan uang. Tuntutan yang diberikan adalah 1 tahun penjara dengan hukuman percobaan 1 tahun.Karena jaksa tak mampu membuktikan, hakim PN Tangerang memvonis Gayus dengan hukuman bebas pada 12 Maret 2010. Itu sudah bukan rahasia lagi. Pasal penggelapan ringan hukumannya. Modus operandi kejahatan adalah menggunakan pasal-pasal dakwaan yang dirumuskan sesuai dengan kepentingan JPU yang bisa membebaskan terdakwanya.

Bagaimana dengan statemen Kejagung yang beralasan menuntut Gayus ringan karena belum menikmati uang ? Jaksa seolah-olah menghilangkan pasal 4 UU No 31 tahun 1999 tentang Tipikor. Pasal itu menjelaskan dengan mengembalikan uang bukan berarti bisa menghilangkan proses hukumnya.

Seperti yang kita lihat dalam modus yang di jalankan gayus tersebut di atas,unsur-unsur pidana korupsi telah terpenuhi,yaitu :
1. Melawan hukum.
    Memberikan informasi,menunjukkan celah-celah, atau membantu memenangkan wajib pajak dalam  
    persidangan tentu saja melanggar setidaknya Pasal 34 KUP dan kode etik pegawai negeri khususnya 
    pegawai DirJen pajak.
2. Memperkaya diri sendiri.
3. Merugikan Negara.
Dalam menjalankan aksinya,Gayus telah nyata-nyata merugikan Negara berupa :
a. Pajak yang di terima lebih kecil dari SKP yang di tetapkan.
b. Negara membayar kembali jika vonisnya menyebutkan pajak yang telah di bayar berlebih.
Dari keduanya jelas Negara sangat di rugikan.
4. Menyalahgunakan kewenangan.
Gayus menggunakan wewenang, kedudukan, jabatan dan posisinya sebagai kendaraan untuk melancarkan aksi kejahatannya.
Terlebih lagi dalam pasal 5 KUP menyebut suap sebagai salah satu kejahatan korupsi yang ancamannya pun berat juga.maka sesungguhnya sangat tidak beralasan jika jaksa tidak menggunakan delik korupsi untuk menjerat Gayus. Apalagi dengan mengingat sumber dana uang dari rekening Gayus berasal dari berbagai perusahaan,sehingga jika Gayus mengaku uang 25 M itu milik Andi kosasi maka seharunya tidak ada jejak para perusahaan wajib pajak yang menyetor uang ke rekening bank Panin milik Gayus.
Sebagaimana kita ketahui wewenang Dirjen Pajak sangat tinggi. Mereka yang menentukan potensi penerimaan pajak dan sekaligus yang bertugas merealisasikannya. Mereka yang melakukan pemeriksaan pajak dan sekaligus mengadilinya. Mereka yang “berhak” menafsirkan bunyi UU Pajak (KUP, PPh, PPN) dan jika Wajib Pajak tidak setuju dengan perhitungan/penafsiran tersebut (Surat Ketetapan Pajak), maka wajib pajak dipersilahkan mengikuti proses selanjutnya (keberatan, banding, dst)
Dalam pelaksanaannya ada beberapa kendala untuk melakukan penindakan hukum secara tegas kepada aparat Dirjen Pajak.
Pertama, selama ini ada kecenderungan Dirjen Pajak berlindung dibalik Pasal 34 KUP yang menyebutkan pada intinyta petugas pajak dilarang memberikan informasi mengenai wajib pajak serta informasi lainnya mengenai pajak, ketika BPK, Itjen Depkeu (IBI), atau aparat penegak hukum mencoba melakukan penelitian awal atas dugaan terjadinya tindak pidana korupsi. Kondisi ini menyebabkan aparat sulit mencari bukti awal sebagai persyaratan untuk melakukan penyelidikan/ penyidikan.
Namun sebenarnya jawaban atas kesulitan penyidikan ini juga terdapat dalam pasal 34 KUP ayat3 dan 4 di mana menteri keuangan dapat memberikan ijin tertulis yang merupakan akses untuk kepentingan penyidikan.
Kedua, selama ini terdapat hubungan yang bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara Fiskus dengan Wajib Pajak. Tentu saja yang dimaksud Fiskus dan Wajib Pajak di sini adalah oknum (tidak bisa digeneralisasi bahwa semua atau sebagian besar Fiskus dan Wajib Pajak melakukan hal yang sama. Sebagian besar wajib pajak lebih suka membayar “pajak” kepada Fiskus dibandingkan langsung ke negara. Artinya, sejumlah kecil kewajiban pajaknya dibayarkan ke negara, sedangkan sebagian yang lain dibayarkan ke “Fiskus”, dengan asumsi Wajib Pajak masih bisa menghemat pajak yang “sebenarnya” terutang ke negara. Sebagai businessman, wajib pajak cenderung menghindari konfrontasi dengan Fiskus karena sejarah menunjukkan bahwa dengan bermain aman bersama Fiskus, maka usaha mereka akan “dijamin aman” dari urusan-urusan pajak yang rumit.
Ketiga, selayaknya markus (makelar kasus) di peradilan yang banyak diperankan pengacara, maka dalam konteks mafia pajak, yang bertindak sebagai perantara antara Fiskus dan Wajib Pajak adalah konsultan pajak. Di beberapa wajib pajak yang masih “culun” sering ditemui fee untuk konsultan pajak yang tidak wajar (jumlah/nilainya). Fee inilah yang biasanya digunakan untuk “bermain” dengan Fiskus. Mekanisme suap secara tidak langsung seperti ini memang menyulitkan dalam proses pembuktian di pengadilan.
Keempat, sebagian besar Fiskus punya background sebagai akuntan/ sarjana hukum. Oleh karena itu, mereka sangat lihai bermain-main dalam mafia pajak dan bagaimana menyembunyikan harta hasil kekayaannya
Komite Pengawas Perpajakan (KPP) sudah mengidentifikasi 12 titik rawan praktek makelar kasus (markus) dan penyelewengan di Ditjen Pajak. Misalnya, proses pemeriksaan, penagihan, dan pengadilan pajak. Lalu, keberatan dan banding pajak serta persidangan.
Inilah Titik Rawan Makelar Kasus di Ditjen pajak:
1. Proses pemeriksaan, penagihan, account representative , dan pengadilan pajak
2. Keberatan pajak
3. Banding pajak
4. Pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak
5. Penuntutan
6. Persidangan
7. Wajib pajak bermain dengan konsultan pajak
8. Oknum pajak merangkap sebagai konsultan pajak
9. Oknum pengadilan pajak
10. Main melalui rekayasa akuntansi
11. Main melalui fasilitas pajak
12. Main melalui peraturan pajak
Sumber: Komite Pengawas Perpajakan
Pola pelanggaran
Pada saat pemeriksaan pajak, ada peluang permainan. Pemeriksa pajak akan mengobral temuan yang belum tentu benar. Ada yang bisa dibuktikan atau hanya gertakan.
”Temuan yang tidak bisa disanggah wajib pajak dapat dinegosiasikan. Jika proses negosiasi gagal akan di-SKKB-kan (surat ketetapan pajak kurang bayar). Tidak semua temuan masuk dalam kertas kerja di Ditjen Pajak sehingga sulit dilacak,” ujar Anwar.
Adapun pola pelanggaran di Pengadilan Pajak, antara lain, tidak tersedianya berita acara persidangan untuk konsumsi publik ataupun Ditjen Pajak sehingga keputusan hakim dimungkinkan berbeda dengan jalannya persidangan. Pada proses penagihan, pelanggaran dilakukan dengan memasukkan setoran pajak ke kantung petugas pajaknya.
Kecurangan juga dilakukan saat banding pajak. Oknum petugas pajak bermain dengan cara membuat memori banding yang ’kacau’, di mana Ditjen Pajak sengaja tidak mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Ini semua ada harganya dan diatur dalam satu paket.
Kemudian, dalam proses penuntutan di kejaksaan, perpindahan dari status penyidikan ke penuntutan bisa menjadi proses yang panjang dan melelahkan. Perbedaan sudut pandang antara Ditjen Pajak dan kejaksaan membuat berkas bolak-balik.
Dari sisi pelakunya, baik wajib pajak, oknum pejabat pajak, maupun Pengadilan Pajak sama-sama memiliki pola pelanggaran sendiri-sendiri. Wajib pajak juga kerap dibantu konsultan pajak untuk menghindari pembayaran pajak secara lebih canggih. Sementara pelanggaran yang dilakukan oknum pejabat pajak adalah merangkap jabatan sebagai konsultan pajak.
Apalagi pensiunan pegawai Ditjen Pajak eselon III ke atas dapat memperoleh brevet konsultan pajak. Setelah pensiun, mereka kembali menjalin pola kerja yang dilakukan sebelumnya ketika mereka masih aktif sebagai pegawai pajak.

Friday, 12 November 2010

Anak Jalanan dan Eksklusi Sosial

                                         Anak Jalanan dan Eksklusi Sosial
Anak jalanan, sudah lama menyita perhatian penentu kebijakan di Departemen Sosial dan pemerintahan daerah di kota-kota besar. Diasumsikan, jumlah anjal di 12 kota besar di Indonesia sebanyak 100.000 jiwa tahun 2009, dan jumlah terbesar diperkirakan berada di Ibukota. Anjal selalu terkait dengan kriteria yang dikenakan kepada mereka oleh pemerintah, yaitu anak yang berusia 5-18 tahun, yang menghabiskan sebagai besar waktunya di jalan, untuk mencari nafkah, atau berkeliaran di jalan raya atau tempat-tempat umum. Waktu yang dihabiskan sekitar 4 jam per hari, pola pengalokasian waktu serupa terus dilakukan hingga mereka menemukan sumber nafkah lain, atau lingkungan sosial yang dapat menampung mereka.
Eksistensi anjal terpaut dengan perlakuan dan kondisi dalam keluarga, kemiskinan, perceraian orangtua, minimnya perhatian dari lingkungan sosial, dan tendensi memprioritaskan uang dari pada bersekolah atau melakukan kegiatan lain. Terdapat empat tipe anjal yaitu: anjal yang masih tinggal dengan orangtua, anjal yang memiliki orangtua tetapi tidak tinggal dengan mereka, anjal yang tidak memiliki orangtua, tetapi tinggal dengan keluarga tertentu, dan anjal yang tidak memiliki orangtua dan tidak tinggal dengan keluarga. Pekerjaan utama anjal adalah pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanja di toko atau pasar dan peminta-minta.
Fenomena anjal ini serta-merta membangun pertanyaan, siapakah sejatinya yang mesti bertanggung jawab atas mereka? Undang-Undang Dasar 1945 hasil amendemen, Pasal 34 Ayat 1 menyebutkan bahwa "Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara". Diktum konstitusi ini jelas memberikan kewenangan pada negara untuk mengurus dan bukannya untuk menangkapi anjal. Atensi utama pada pemeliharaan, penanganan dan pemberdayaan, tampaknya belum dipahami secara merata di semua instansi pemerintah tentang mandat konsitusi untuk memperhatikan kelompok marginal; seperti fakir miskin dan anak telantar. Landasan konstitusional dengan indikator terukur tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 34 Ayat 2 bahwa "Negara mengembangkan suatu jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".
Eksklusi Sosial
Prioritas konstitusional agar negara berperan aktif dalam membanguan manusia agar lebih bermartabat, menjadi antitesis dengan kondisi objektif mutu hidup manusia Indonesia saat ini, dan secara khusus masa depan dan perlakuan terhadap anjal. Martabat (integrity) manusia Indonesia menjadi buram karena balutan kemiskinan, dan mutu hidup mayoritas manusia Indonesia yang masih di bawah standar minimum. Di Indonesia, jaringan sosial sangat minim dikembangkan lintas institusi negara, institusi keagamaan, institusi etnis, dan institusi golongan. Penangan fakir miskin dan anjal masih menjadi dominasi lembaga pemerintah (Kementerian Sosial); dan institusi lainnya didaulat untuk ikut berpartisipasi, sebab ketiadaan dana, daya dan sumberdaya manusia yang memadai. Sekat-sekat kelembagaan dalam menangani kelompok marjinal, seperti anjal tampaknya belum berubah sejak rezim Orde Baru, di mana hegemoni dan dominasi negara begitu menonjol.
Keberadaan anjal dan fakir miskin tidak terlepas dari peranan dan kebijakan negara, yang belum tuntas dan komprehensif ditangani. Keberpihakan negara terhadap para pemilik modal, penguasa dan makelar tanah dan makelar kasus, tanpa berpihak pada anjal dan kelompok marjinal, berdampak pada semakin banyaknya warga negara Indonesia yang hidup tanpa martabat. Integritas tidak selalu harus dipertautkan dengan kepemilikan material, tetapi martabat mempunyai kaitan dengan hak-hak dasar manusia untuk diperlakukan dan ditangani secara manusiawi. Kebijakan yang berpihak kepada kelompok penguasa dan para kapitalis merupakan sumber bencana sosial, yang tidak kalah dahsyatnya dari bencana alam. Proses peminggiran masyarakat secara sistematik jelas tampak pada keberpihakan pemerintah pada para elit dan pemilik modal, dan menomorduakan Anjal dan fakir miskin. Proses yang direncanakan atau tidak direncanakan masuk ke ranah eksklusi sosial dengan dampak masif dan sulit diatasi, sebagaimana tantangan anjal bagi pemerintah saat ini.
Ambiguitas pendekatan terhadap anjal masih terasa parsial dan mengedepankan ego sektoral setiap institusi, yang belum sanggup disinergikan menjadi satu kekuatan nasional, untuk memerangi akar kemiskinan dan eksklusi sosial yang semakin parah. Program inklusi sosial untuk membawa balik anjal ke lingkungan hidup yang memadai sangat minim, dan penanganan saat ini terkesan kosmetik, dan tidak membedah akar permasalaham eksklusi sosial, termasuk anjal. Fungsi "Rumah Singgah" sebagai wadah berkumpul anjal hanyalah program sejenak dan tidak akan mereduksi akumulasi anjal, apabila kebijakan yang "pro poor", program inklusif bagi anjal dan fakir miskin tidak tersinergikan secara nasional, maka program penanganan Anjal akan terkesan populis. Nyatanya, keberadaan Anjal dan fakir miskin di Indonesia adalah juga buah dari pembangunan nasional yang parsial, temporer, dan sektoral semata.